top of page

Tetap Anggun Melawan Tantangan Dana Pensiun: Sebuah Catatan RUMI-U

Diperbarui: 23 Mar 2021



Dalam seri masterclass RUMI-U ketiga, Rumah Mentor Indonesia (RUMI) dan Daya Dimensi Indonesia bekerjasama dengan Prof. Onno Steenbeek dari Erasmus School of Economics Rotterdam. Acara ini diadakan pada Rabu, 24 Februari 2021 dengan tema “Global Pension Provision: Dealing with COVID-19.” Seperti dua masterclass sebelumnya, RUMI-U menghadirkan panelis yang menanggapi tema dari narasumber dengan konteks bisnis di Indonesia, yakni Ogi Prastomiyono selaku Steering Committee RUMI dan Direktur Layanan Strategis MIND ID.


Menjelang pukul 2 WIB, Hilmi Panigoro selaku Steering Committee RUMI, menyambut para peserta. Dalam welcoming remarks-nya, Hilmi berterima kasih pada antusiasme seluruh peserta untuk selalu berbagi pengetahuan, khususnya melalui RUMI-U masterclass yang diadakan bertepatan dengan anniversary RUMI.


Prof. Steenbeek membuka sesi dengan anekdot tentang Rotterdam dan Amsterdam, juga sebuah honorable mention kepada Emeritus Prof. Jaap Spronk yang baru menutup usia pada 8 Februari 2021. Alm. Prof. Spronk terakhir menjabat sebagai Dekan Rotterdam School of Management dan menjadi tokoh kunci yang menyambungkan RUMI dengan Erasmus University. Beliau juga merupakan salah satu pendiri GEMFM Global Network bersama Prof. Steenbeek dan memfasilitasi executive class yang pernah diikuti oleh panelis hari ini, bapak Ogi Prastomiyono.

Kemudian Prof. Steenbeek menjelaskan tentang ketiga pilar dalam sistem dana pensiun (DP) di Belanda, yang diadaptasi dari model World Bank. Pilar pertama adalah yang terbesar; dengan alokasi 50% dari total dana pensiun, adalah state pensions atau DP yang dibiayai oleh Negara. Pilar kedua (40%) adalah occupational pensions yang merupakan komponen wajib dalam gaji setiap pekerja. Pilar terakhir adalah individu dan bersifat opsional bagi orang yang memutuskan untuk menambah porsi DP sebagai jaminan hari tua.


Sistem pendanaan yang rigid dan transparan di Belanda menjadikannya sebagai sistem terbaik di dunia dengan skor lebih dari 80 berdasarkan Mercer World Ranking 2020 berdasarkan tiga dimensi: adequacy (kualitas manfaat dan standar hidup penerima), sustainability (kemampuan untuk memberikan manfaat dalam jangka panjang kepada sebanyak mungkin penerima), dan integrity (keterbukaan regulasi dan governance). Dalam ranking ini, Indonesia mendapat predikat C dengan skor 51. Artinya, sistem DP di Indonesia memiliki beberapa fitur yang baik untuk saat ini, namun memiliki risiko dan kekurangan yang perlu diperbaiki agar bisa efektif dalam jangka panjang.


Prof. Steenbeek mengakui bahwa kondisi pandemi tetap memberikan tantangan dalam pensions sector, bahkan bagi sistem terbaik di dunia sekalipun. Pandemi menyebab penyusutan kegiatan ekonomi terbesar setelah Perang Dunia II. Rendahnya suku bunga menghasilkan banyak tabungan dan investasi menjadi tidak menarik. Hasilnya adalah peningkatan tajam pada stimulus ekonomi dunia, utang negara, dan volume transaksi di pasar saham (berikut perilaku irrasional para pelaku pasar). Kesenjangan ekonomi semakin terlihat dan isu de-globalisasi pun menajam: apakah negara mampu bertahan sendiri tanpa harus bergantung pada negara lain?


Selain alasan ekonomi, rerata usia populasi yang semakin tinggi dan tingkat harapan hidup yang meningkat pun menjadi tantangan bagi pensions sector. Secara umum, kenaikan tingkat harapan hidup mengindikasikan sistem kesehatan dan kualitas hidup yang baik. Namun dalam sektor pensiun, semakin banyak populasi yang berada di atas usia pensiun berarti semakin banyak orang yang harus ditanggung oleh tingkat kerja produktif. Di Indonesia, hal ini belum terlalu menjadi masalah, terlebih dengan bonus demografi dan piramida penduduk yang konstruktif. Tetapi estimasi pada tahun 20160 di Belanda, untuk setiap 1 orang berusia di atas 65 tahun, hanya terdapat 1-1.5 orang di usia produktif.


Prof. Steenbeek menyampaikan hal unik lainnya dari pensions system terbaik di dunia. Di Belanda, DP dipersepsikan sebagai gaji yang tertunda, sehingga ditangani oleh Kementerian Kesejahteraan Sosial, bukan Kementerian Keuangan. Selain ditangani secara profesional, pengelolaan DP juga diawasi secara ketat oleh lembaga independen bernama APF (Authority on Pension Funds) sebagai cara untuk menjaga akuntabilitas dan memastikan DP menjadi tanggung jawab bersama.


Bapak Ogi Prastomiyono kemudian menanggapi dengan melihat konteks isu pada sektor dana pensiun di Indonesia. Program pensiun di Indonesia di antaranya dipengaruhi oleh proporsi Dana Pensiun Manfaat Pasti (DPMP) dan Dana Pensiun Iuran Pasti (DPIP), baik dari Pemberi Kerja (DPLK) maupun Lembaga Keuangan (DPLK). Berdasarkan data tahun 2015-2019, penggunaan DPMP memiliki proporsi lebih tinggi dibanding DPIP pada perusahaan BUMN. Padahal, hanya 39% program DPMP saat ini memiliki funding ratio sehat lebih dari 100%. Secara umum, rasio investasi jauh lebih tinggi pada capital market yang memiliki risiko tinggi, namun 80% DPMP BUMN dialokasikan pada portfolio dengan tingkat likuiditas rendah seperti properti.


Karena itu, agar bisa menjadi lebih sustainable, Ogi mengusulkan beberapa strategi. Pertama, memperbanyak proporsi DPIP dibandingkan DPMP. Kedua, menghindari produk-produk investasi yang terlalu ekstrim; baik high-risk maupun yang tidak likuid, dan memperbanyak proporsi portfolio likuid yang berisiko rendah seperti di fix-income investments. Terakhir, peningkatan kompetensi dan akuntabilitas penanganan DP di departemen dan lembaga-lembaga yang berwenang akan sangat meningkatkan resiliensi pensions system di Indonesia agar lebih crisis-proof seperti di Belanda.


Baca juga artikel RUMI-U dari masterclass sebelumnya: The Art of Strategy dan Change in Business Ethics (GZN).

29 tampilan0 komentar

Postingan Terakhir

Lihat Semua
bottom of page